“HEWAN DAN LINGKUNGAN”
Ayat
yang membahas tentang hewan dan lingkungan dijelaskan dalam Al-Quran dalam
surat An-Nahl ayat (68-69) dan Q.S Al-Hijr ayat(19-21) dan Q.S Ar-Ruum ayat
(41).
A.
Ciri-ciri hewan sebagai mahluk
heterotrof
Ciri
utama mahluk heterotrof adalah bahwa
untuk dapat melaksanakan fungsi kehidupan harus memperolah bahan organik dengan
cara memakan mahluk lain. Mahluk lain yang dimakan dapat berujud mahluk
autotrof atau disebut produsen atau dapat berujut mahluk heterotrof lain.
Berdasarkan jenis makanannya, hewan
heterotrof yang merupakan konsumen utama dalam ekosistem, dapat dibedakan
manjadi tiga kelompok, yaitu herbivora, karnivora, dan omnivora.
a. Herbivora
Kata herbivora berasal dari kata
herbi yang berarti tumbuhan dan vorare yang berarti makan. Jadi, herbivora
berarti hewan pemakan tumbuhan. Hewan-hewan pemakan tumbuhan biasanya mempunyai
gigi geraham yang kuat dan giginya berlapiskan email yang tebal. Di samping
itu, herbivora mempunyai usus yang relatif lebih panjang. Contoh hewan pemakan
tumbuhan, antara lain burung merpati, burung gelatik, sapi, kerbau, kuda,
zebra, kambing dan jerapah.
Adanya herbivora merupakan pengontrol pertumbuhan dan
perkembangan produsen. Apabila tidak ada herbivora, kemungkinan besar tumbuhan
akan berkembang tidak terkendali. Pada akhirnya, tumbuhan akan merugikan karena
tanahnya menjadi tandus akibat diserap terus menerus oleh tumbuhan.
Mahluk hewan heterotrof atau disebut
makrokonsumen primer adalah
Ø Mahluk
hewan yang makan secara langsung tumbuhan atau bagian tumbuhan, terutama
dedaunan. Misalnya sapi, kerbau, domba, dll.
Ø Mahluk
yang makan terutama hasil atau bagian tumbuhan yang nonfotosintetik seperti
misalnya pemakan biji, pemakan kacang-kacangan, buah-buahan. Contoh tupai, hama
wereng, dll.
Ø Hewan
yang melulu makann(terutama) fungi dan bakteri. Hewan ini disebut fungivora.
b. Karnivora
Kata karnivora berasal dari kata
carnis yang berarti daging, vorare yang berarti memakan. Jadi, karnivora adalah
hewan pemakan daging hewan lainnya. Hewan pemakan daging biasanya mempunyai
gigi taring yang kuat dan kuku atau cakar yang tajam. Di samping itu, ususnya
berukuran relatif pendek. Contoh hewan karnivora antara lain burung elang, ikan
hiu, harimau, singa, kucing, dan srigala.
Adanya karnivora juga merupakan pengontrol populasi
herbivora. Demikian seterusnya sehingga keberadaan setiap komponen merupakan
sumber makanan bagi komponen lain dan juga sekaligus sebagai pengontrol
populasi komponen lainnya. Dengan kondisi itulah, keseimbangan di dalam suatu
ekosistem tetap terjamin.
Mahluk hewan karnivora juga disebut
pemangsa atau makrokonsumen sekunder seperti insekta pemangsa serta ikan liar
di kolam, laba-laba, burung, ular, kadal, katak, mamalia pemangsa di padang
rumput merupakan mahluk pemangsa yang makan mahluk konsumen primer atau
konsumen sekunder yang lain.
c. Omnivora
Kata omnivora berasal dari kata
omnis yang berarti semua atau segala dan vorare yang berarti makan. Jadi,
omnivora berarti hewan pemakan segala macam jenis makanan, artinya bisa berasal
dari tumbuhan ataupun dari jenis hewan. Contoh kelompok ini antara lain itik,
ayam, dan tikus.
Manusia sebagai makhluk omnivora
yang dilngkapi akal dan pikiran mempunyai potensi besar sebagai perusak
sekaligus sebagai pemelihara lingkungan. Sebagai perusak apabila manusia selalu
ingin memuaskan kemauannya. Sebaliknya, akan menjadi pemelihara lingkungan
apabila manusia menyadari bahwa lingkungan bukan hanya untuk manusia, tetapi
jutga untuk semua kehidupan. Kesadaran bahwa kekayaan alam yang tersedia saat
ini bukanlah milik generasi sekarang, tetapi merupakan titipan generasi yang
akan datang. Oleh karena itulah generasi sekarang mempunyai kewajiban untuk
melestarikannya.
B. Hewan Endoterm dan Hewan Ektoterm
Pengaturan
suhu tubuh (termoregulasi), pengaturan cairan tubuh, dan ekskresi adalah
elemen-elemen dari homeostasis. Dalam termoregulasi dikenal adanya hewan berdarah
dingin (cold-blood animals) dan hewan berdarah panas (warm-blood animals).
Namun, ahli-ahli Biologi lebih suka menggunakan istilah ektoterm dan endoterm
yang berhubungan dengan sumber panas utama tubuh hewan.
Ektoterm
adalah hewan yang panas tubuhnya berasal dari lingkungan (menyerap panas
lingkungan), atau tergantung pada sumber panas eksternal. Suhu tubuh hewan
ektoterm cenderung berfluktuasi, tergantung pada suhu lingkungan. Hewan dalam
kelompok ini adalah anggota invertebrata, ikan, amphibia, dan reptilia.
Sedangkan
endoterm adalah hewan yang panas tubuhnya berasal dari hasil metabolisme. Suhu
tubuh hewan ini lebih konstan. Hewan endoterm adalah hewan yang mengatur suhu
tubuh dengan memproduksi panas dalam tubuhnya sendiri. Endoterm umum dijumpai
pada kelompok burung (Aves), dan mamalia.
Pengaruh
suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua golongan, yaitu poikiloterm dan
homoiterm. Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu tubuh
bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar. Hewan seperti
ini juga disebut hewan berdarah dingin.
Hewan
homoiterm disebut dengan hewan berdarah panas. Pada hewan homoiterm suhunya
lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya sehingga dapat
mengatur suhu tubuh. Hewan homoiterm dapat melakukan aktifitas pada suhu
lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan
homoiterm mempunyai variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor
umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam,
faktor makanan yang dikonsumsi.
Hewan
berdarah panas adalah hewan yang dapat menjaga suhu tubuhnya, pada suhu-suhu
tertentu yang konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya.
Sebagian panas hilang melalui proses radiasi, berkeringat yang menyejukkan
badan. Melalui evaporasi berfungsi menjaga suhu tubuh agar tetap konstan.
Contoh hewan berdarah panas adalah bangsa burung dan mamalia, hewan yang
berdarah dingin adalah hewan yang suhu tubuhnya kira-kira sama dengan suhu
lingkungan sekitarnya.
C. Konsep Waktu Suhu
Suhu tubuh merupakan keseimbangan antara perolehan panas
dari dalam (metabolisme) atau luar dengan kehilangan panas. Untuk menghadapi
cuaca yang sangat buruk (terlalu dingin atau terlalu panas) hewan perlu menghemat
energi dengan cara hibernasi atau estivasi.
Suhu adalah parameter yang menggambarkan derajat panas suatu
benda. Semakin tinggi panas suatu benda, maka semakin tinggi pula suhunya.
Begitu pula sebaliknnya, panas yang dipancarkan atau dirambatkan oleh suatu
benda merupakan bentuk energi yang dibebaskan oleh benda melalui proses
transformasi energi. Dengan demikian, secara tidak langsung suhu dapat dipakai
sebagai indikator tentang besarnya energi yang dibebaskan oleh benda.
Dalam kaitannya dengan organisme, maka prinsip dasar yang
mengakibatkan suhu dapat mengatur pertumbuhan dan penyebaran organisme adalah
terletak pada pengaruh fisik suhu terhadap tubuh organisme. Suhu yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan rusaknya enzim dan protein lain, dapat menguapkan
cairan tubuh, dapat merusak vitamin, dapat merusak sel, jaringan dan organ,
dapat merusak permeabilitas membran, dan merusak hormon. Sebaliknya, suhu yang
terlalu rendah dapat membekukan protoplasma, dapat menghambat kerja enzim,
menghambat kerja hormon, dan menghambat metabolisme.
Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu
tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar. Hewan
seperti ini juga disebut hewan berdarah dingin.
Homoiterm sering disebut hewan berdarah panas. Pada hewan
homoiterm suhunya lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam
otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh.
Begon dkk(1986) menuliskan bahwa pengaruh
berbagai suhu terhadap hewan ektoterm mengikuti suatu pola tipikal, walaupun
ada perbedaan dari spesies ke spesies yang lain. Pada intinya ada tiga kisaran
yang menarik perhatian ialah:
·
Suhu rendah berbahaya
·
Suhu tinggi berbahaya
·
Suhu diantara suhu tinggi dan suhu rendah.
Ada pengertian tentang koesein suhu yang diberi symbol dengan
huruf Q10’ misalnya Q10 = 2.5, berarti tiap-tiap kenaikan
suhu 1°C menaikkan lau reaksi metabolisme2.5 kali. Jadi mahluk ektoterm
memasukkan sumberdaya dan melaksanakan metabolisme henya secara lambat pada
suhu yang rendah, tetapi pada suhu yang lebih tinggi metabolisme akan lebih
cepat.
Untuk pertumbuhannya, hewan ektothermal memerlukan kombinasi
antara faktor waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal tidak dapat
tumbuh dan berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum
kendatipun diberikan waktu yang cukup lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang,
hewan ektothermal memerlukan suhu lingkungan di atas batas suhu minimumnya maka
semakin singkat waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula
sebaliknya. Adanya keterkaitan antara suhu lingkungan dengan waktu tumbuh dan
berkembangnya hewan ektothermal disebut sebagai konsep waktu suhu atau waktu
fisiologis.
D.
Kondisi
dan Sumber Daya Sebagai Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar makhluk baik berupa kehidupan (biotik) maupun materi
tak hidup (abiotik) yang mempengaruhi keberadaan dari makhluk itu. Dari
pengertian ini, maka timbullah pemilahan lingkungan atas dasar komponennya
menjadi lingkungan biotik, lingkungan fisika dan lingkungan kimiawi.
Lingkungan biotik adalah seluruh kehidupan yang berada di
sekitar makhluk, sedangkan yang dimaksud lingkunga fisika adalah unsur-unsur fisik yang ada
di sekitar makhluk yang meliputi materi, vahaya (gelombang elektro magnetik),
energi dan gaya, suhu dan panas, tekanan dan kelembaban. Yang dimaksud
lingkungan kimiawi adalah segala zat kimia yang ada disekitar makhluk yang
meliputi pH, salinitas, oksigen terlarut (DO), mineral terlarut, mineral bebas,
mineral terikat, dan polutan.
Sedikit lebih spesifik dari lingkungan
adalah kondisi lingkungan yang tidak lain faktor lingkungan abiotik yang dapat berbeda-beda menurut ruang dan waktu,
dan terhadap kondisi ini makhluk memberikan
tanggapan secara berbeda-beda. Kondisi lingkungan dapat dimodifikasi
oleh kehadiran suatu makhluk tetapi tidak dapat dikonsumsi atau dihabiskan oleh
makhluk. Dengan demikian, kondisi selalu ada walaupun mungkin keadaan atau
nilainya sudah berubah. Sebagai contoh adalah suhu. Suhu udara di halaman depan
rumah ketika sudah ditanami tanaman perindang. Walaupun suhunya lebih rendah,
dalam hal ini tanaman perindang tidak dapat dikatakan mengkonsumsi suhu.
Berbeda dengan kondisi, maka sumber daya merupakann semua
benda yang dapat dikomnsumsi oleh makhluk. Berdasarkan tingkat kepentingannya,
sumber daya dapat digolongkan menjadi sumber daya esensial dan sumber daya
tergantikan. Sumber daya esensial adalah sumber daya yang peranannya tida dapat
digantikan oleh sumber daya yang lain.
E.
Spesies
Sebagai Indikator Ekologi
Odum (1971) menyatakan telah diketahui bahwa faktor yang
spesifik seringkali menentukan dengan agak tepat mahluk manakah yang mungkin
ada dengan mempertimbangkan jenis lingkungan fisik tempat mahluk hidup itu.
Mahluk demikian ini disebut sebagai indikator ekologi.
Menurut Odum(1971) ada beberapa konsiderasi yang penting
untuk dipertimbangkan dalam penggunaan indikator ekologi adalah:
·
Pada
umumnya spesies “steno”sebagai indikator ekologi lebih baik daripada spesies
yang “eury”.
·
Spesies
yang besar biasanya merupakan indikator yang lebih baik daripada spesies yang
kecil.
·
Sebelum
mempercayai sesuatu spesies tunggal atau kelompok spesies sebagai indikator,
harus ada bukti yang cukup di daerah penelitian.
·
Hubungan
numerik diantara spesies, populasi, serta seluruh komunitas sering merupakan
indikator terpercaya daripada satu spesies tunggal.
Makhluk yang diamati penampakannya untuk dipakai sebagai
petunjuk tentang keadaan kondisi lingkungan dan sumber daya pada habitatnya ini
disebut bioindikator ekologis atau
disingkat dengan indikator ekologis.
F.
Faktor
Pembatas dan Kisaran Toleransi
Kenyataan yang ada di alam menunjukkan bahwa suatu faktor
kebutuhan atau faktor pendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu makhluk,
keberadaanya tidak selalu persis sama dengan kuantitas (takaran) yang
dibutuhkan oleh suatu makhluk. Suatu faktor dapat saja kurang dari
kebutuhan atau justru melebihi
kebutuhan.tergantung seberapa jauh
keberadaanya, suatu faktor lingkungan dapat menjadi faktor pembatas bagi
pertumbuhan, perkembangan dan distribusi hewan.
Menurut Soetjipta (1990), faktor pembatas adalah faktor
lingkungan yang keberadaanya
menghampiri atau melewati batas
toleransi suatu makhluk. Pengertian dari menghampiri atau melewati batas
toleransi adalah bila suatu faktor keberadaanya di bawah (kurang) dari
kebutuhan minimumnya atau di atasa ( melebihi) dari kebutuhan maksimumnya.
Hukum minimum leibeg. Dalam kaitannya dengan faktor
pembatas, Justus Liebig pada tahun 1840 menemukan hubungan antara rendahnya kuantitas
suatu faktor lingkungan dengan terhambatnya pertumbuhan suatu makhluk
(tumbuhan). Berdasarkan hasil temuannya, Liebig menyatakan bahwa bila suatu
faktor lingkungan yang diperlukan oleh makhluk, keberadaannya dibawaa (kurang)
dari batas kebutuhan minimumnya, maka faktor itu dapat menghambat (membatasi)
pertumbuhan makhluk tersebut, kendatipun faktor lingkungan yang lain
keberadaannya melimpah. Untuk dapat memacu (melanjutkan) kembali perumbuhan
makhluk tersebut, maka faktor lingkungan yang sangat kurang tersebut harus
ditambah kuantitasnya sehingga ada di atas batas kebutuhan minimumnya.
Pernyataan Liebig tersebut dikenal dengan hukum minimum Liebig.
Hukum toleransi shelford. Lebih jauh lagi Liebig, maka tahun
1913 V.E Shelford menemukan suatu fenomena baru dalam kaitannya dengan faktor
pembatas. Shelford menemukan bahwa pertumbuhan suatu makhluk dapat dibatasi
oleh faktor kebutuhan yang jumlahnya kurang dari kebutuhan minimumnya atau
lebih dari kebutuhan maksimumnya. Lebih lanjut Shelford mengatakan bahwa setiap
jenis makhluk memiliki batas toleransi tertentu untuk suatu faktor lingkungan.
Pernyataan dari Shelford ini kemudian dikenal dengan hokum toleransi Shelford.
Dalam hubungannya dengan batas toleransi ini, maka ada
makhluk yang memiliki batas toleransi yang sempit dan ada yang memiliki batas
toleransi yang luas untuk suatu faktor lingkungan. Batas toleransi dikatakan
sempit adalah bila selisih antara titik maksimun denga minimumnya adalah kecil
(sedikit). Untuk toleransi sempit ini sering dinyatakan dengan istilah yang
diawali dengan kata steno di depan
kata yang menunjukkan faktor yang dimaksud. Sebagai contoh, untuk toleransi
yang sempit terhadap faktor suhu diberi istilah stenothermal. Batas toleransi dikatakan luas adlaah apabila selisih
antara titik maksimum dengan titik minimumnya adalah besar (banyak). Untuk
toleransi luas ini sering dinyatakan dengan istilah yang diawali dengan kata eury di depan kata yang menunjukkan
faktor yang dimaksud. Sebagai contoh, untuk toleransi yang luas terhadap faktor
suhu diberi istilah eurythermal.
Dengan demikian, untuk faktor salinitas ad istilah stenohaline dan euryhaline.
Untuk faktor makanan ada istilah stenophagik dan euriphagi. Untuk faktor
habitat, ada istilah stenoecious dan eurycious. Begitulah yang lainnya.
Menyimak lebih jauh tentang toleransi ini, maka ada beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan adalah :
a) Suatu makhluk dapat memiliki
toleranis yang luas untuk suatu faktor, tetapi sempit untuk faktor yang lain.
b) Makhluk yang memiliki toleansi yang
luas untuk semua faktor maka wajar memiliki penyebaran yang paling luas.
c) Ketidakberhasilan makhluk memperoleh
keadaan optimum untuk suatu faktor, dapat mengurangi batas toleransi makhluk
itu terhadap faktor-faktor yang lain.
d) Seringkali dijumpai di alam, bahwa
makhluk berada dalam faktor yang keadaannya tidak optimum. Dalam hal ini
faktor-faktor yang lain ditemukan mempunyai arti yang lebih besar.
e) Makhluk pada masa-maa muda atau
prenatal emiliki batas toleransi yang lebih sempit dibanding makhluk sejenis
yang sudah dewasa.
Suatu faktor pembatas bukan hanya sesuatu yang tersedianya
terlalu sedikit seperti yang diusulkan oleh leibeg, tetapi yang terlalu banyak
pun seperti dalam hal factor sebagai misalnya panas, suhu, cahaya,air, gas
atmosfer, arus dan tekanan, tanah.
Kesimpulan
Ciri
utama mahluk heterotrof adalah bahwa
untuk dapat mrlaksanakan fungsi kehidupan harus memperolah bahan organik dengan
cara memakan mahluk lain. Mahluk lain yang dimakan dapat berujud mahluk
autotrof atau disebut produsen atau dapat berujut mahluk heterotrof lain. Berdasarkan jenis makanannya, hewan heterotrof yang
merupakan konsumen utama dalam ekosistem, dapat dibedakan manjadi tiga
kelompok, yaitu herbivora, karnivora, dan omnivora.
Ektoterm adalah hewan
yang panas tubuhnya berasal dari lingkungan (menyerap panas lingkungan), atau
tergantung pada sumber panas eksternal. Sedangkan endoterm adalah hewan yang
panas tubuhnya berasal dari hasil metabolisme. Suhu tubuh hewan ini lebih
konstan.
Untuk dapat tumbuh dan berkembang, hewan ektothermal
memerlukan suhu lingkungan di atas batas suhu minimumnya maka semakin singkat
waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula sebaliknya.
Adanya keterkaitan antara suhu lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya
hewan ektothermal disebut sebagai konsep waktu suhu atau waktu fisiologis.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar
makhluk baik berupa kehidupan (biotik)
maupun materi tak hidup (abiotik) yang mempengaruhi keberadaan dari makhluk
itu. Dari pengertian ini, maka timbullah pemilahan lingkungan atas dasar komponennya
menjadi lingkungan biotic, lingkungan fisika dan lingkungan kimiawi.
Hukum minimum leibeg. Dalam kaitannya dengan faktor
pembatas, Justus Liebig pada tahun 1840 menemukan hubungan antara rendahnya kuantitas
suatu faktor lingkungan dengan terhambatnya pertumbuhan suatu makhluk
(tumbuhan). Liebig menyatakan bahwa bila suatu faktor lingkungan yang
diperlukan oleh makhluk, keberadaannya dibawa (kurang) dari batas kebutuhan
minimumnya, maka faktor itu dapat menghambat (membatasi) pertumbuhan makhluk
tersebut. Untuk dapat memacu (melanjutkan) kembali perumbuhan makhluk tersebut,
maka faktor lingkungan yang sangat kurang tersebut harus ditambah kuantitasnya
sehingga ada di atas batas kebutuhan minimumnya. Pernyataan Liebig tersebut
dikenal dengan hukum minimum Leibeg.